Kebahasaan Karya Ilmiah
1.
Reproduktif
Artinya karya ilmiah
ditulis oleh peneliti atau penulis harus diterima dan dimaknai oleh pembacanya
sesuai dengan makna yang ingin disampaikan. Pembaca harus bisa langsung
memahami konten dari karya ilmiah.
2.
Tidak
Ambigu
Ciri ini ada kaitannya
dengan reproduktif. Sebuah karya ilmiah harus memberikan pemahaman secara detil
dan tidak dikemas dengan bahasa yang tidak membingungkan. Dengan begitu, maksud
dari karya ilmiah itu bisa langsung diterima oleh pembacanya.
3.
Tidak
Emotif
Artinya, karya ilmiah
ditulis tidak melibatkan aspek perasaan dari penulisnya. Sebab, karya ilmiah
harus memaparkan fakta yang didapatkan dari hasil analisis penelitian, bukan
dari perasaan subjektif dari penulisnya.
4.
Menggunakan
Bahasa Baku
Menggunakan bahasa baku
agar mudah dipahami. Penggunaan bahasa baku itu meliputi setiap aspek
penulisannya. Mulai dari penulisan sumber, teori, hingga penulisan kesimpulan.
Ketidakbakuan pada tulisan karya ilmiah hanya akan membuat pembacanya bingung
dan apa yang ingin disampaikan dalam tulisan tidak dipahami pembaca.
5.
Menggunakan
Kaidah Keilmuan
Penulisan karya ilmiah
harus menggunakan kaidah keilmuan atau istilah-istilah akademik dari bidang
penelitian si penulis. Hal itu bertujuan untuk menunjukkan bahwa peneliti atau
penulisnya memiliki kapabilitas pada bidang kajian yang dibahas dalam karya
ilmiah. Penggunaan kaidah atau istilah ilmiah itu juga menjadi takaran seberapa
ahli peneliti pada bidang keilmuannya.
6.
Bersifat
Dekoratif
Artinya penulis karya
ilmiah harus menggunakan istilah atau kata yang memiliki satu makna. Rasional
artinya penulis harus menonjolkan keruntutan pikiran yang logis dan kecermatan
penelitian. Kedua hal itu penting karena karya ilmiah harus bisa menyampaikan
maksud dari penelitian yang dilakukan oleh penulis tanpa membingungkan.
7.
Terdapat
Kohesi
Artinya karya ilmiah
harus memiliki kesinambungan antar bagian dan babnya dan bersifat straight
forward maksudnya ialah tidak bertele-tele atau tepat sasaran. Sebuah karya
ilmiah setiap bagian atau babnya harus memiliki alur logika yang saling
bersambung. Selain itu, penyampaiannya harus tepat sasaran dengan apa yang
ingin disampaikan.
8.
Bersifat
Objektif
Karya ilmiah harus
bersifat objektif. Hal ini sangat penting karena karya ilmiah tidak dibuat
berdasarkan perasaan penulisnya. Karya ilmiah harus menunjukkan fakta-fakta dan
data-data dari hasil analisisnya. Jadi, tidak memiliki kecondongan
subjektifitas.
9.
Menggunakan
Kalimat Efektif
Dan, penulisan karya
ilmiah harus menggunakan kalimat efektif. Ciri ini berkaitan dengan semua ciri
sebelumnya. Tujuan penggunaan kalimat dalam karya ilmiah agar pembaca tidak
dipusingkan dengan penggunaan kalimat yang berputar-putar. Penggunaan kalimat
seperti itu hanya akan membuat pembaca bingung.
Makna Denotasi dan konotasi
Makna
denotasi adalah makna kata
yang tidak mengalami perubahan, sesuai dengan konsep asalnya. Makna denotasi
disebut juga makna lugas. Kata itu tidak mengalami penambahan-penambahan makna.
Adapun makna
konotasi adalah makna
yang telah mengalami penambahan. Tambahan-tambahan itu berdasarkan perasaan
atau pikiran seseorang terhadap suatu hal.Untuk lebih jelasnya perhatikan
contoh-contoh lain dalam tabel di bawah ini!
Kalimat Baku Penggunaan EYD
Sebelum EYD, Lembaga
Bahasa dan Kesusastraan, (sekarang Pusat Bahasa), pada tahun 1967 mengeluarkan Ejaan Baru (Ejaan LBK). Ejaan Baru pada dasarnya
merupakan lanjutan dari usaha yang telah dirintis oleh panitia Ejaan Malindo.
Para pelaksananya pun di samping terdiri dari panitia Ejaan LBK, juga dari
panitia ejaan dari Malaysia. Panitia itu berhasil merumuskan suatu konsep ejaan
yang kemudian diberi nama Ejaan Baru. Panitia itu bekerja atas dasar surat
keputusan menteri pendidikan dan kebudayaan no.062/67, pada tanggal 19 September 1967.
Pada 23 Mei 1972, sebuah pernyataan bersama ditandatangani oleh Menteri Pelajaran Malaysia Tun Hussein Onn dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Mashuri. Pernyataan bersama tersebut mengandung persetujuan untuk melaksanakan asas yang telah disepakati oleh para ahli dari kedua negara tentang Ejaan Baru dan Ejaan yang Disempurnakan. Pada tanggal 16 Agustus 1972, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1972, berlakulah sistem ejaan Latin bagi bahasa Melayu ("Rumi" dalam istilah bahasa Melayu Malaysia) dan bahasa Indonesia. Di Malaysia, ejaan baru bersama ini dirujuk sebagai Ejaan Rumi Bersama (ERB). Pada waktu pidato kenegaraan untuk memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke XXVII, tanggal 17 Agustus 1972 diresmikanlah pemakaian ejaan baru untuk bahasa Indonesia oleh Presiden Republik Indonesia. Dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972, ejaan tersebut dikenal dengan nama Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD). Ejaan tersebut merupakan hasil yang dicapai oleh kerja panitia ejaan bahasa Indonesia yang telah dibentuk pada tahun 1966. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan ini merupakan penyederhanaan serta penyempurnaan daripada Ejaan Suwandi atau Ejaan Republik yang dipakai sejak dipakai sejak bulan Maret 1947.
Pada 23 Mei 1972, sebuah pernyataan bersama ditandatangani oleh Menteri Pelajaran Malaysia Tun Hussein Onn dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Mashuri. Pernyataan bersama tersebut mengandung persetujuan untuk melaksanakan asas yang telah disepakati oleh para ahli dari kedua negara tentang Ejaan Baru dan Ejaan yang Disempurnakan. Pada tanggal 16 Agustus 1972, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1972, berlakulah sistem ejaan Latin bagi bahasa Melayu ("Rumi" dalam istilah bahasa Melayu Malaysia) dan bahasa Indonesia. Di Malaysia, ejaan baru bersama ini dirujuk sebagai Ejaan Rumi Bersama (ERB). Pada waktu pidato kenegaraan untuk memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke XXVII, tanggal 17 Agustus 1972 diresmikanlah pemakaian ejaan baru untuk bahasa Indonesia oleh Presiden Republik Indonesia. Dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972, ejaan tersebut dikenal dengan nama Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD). Ejaan tersebut merupakan hasil yang dicapai oleh kerja panitia ejaan bahasa Indonesia yang telah dibentuk pada tahun 1966. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan ini merupakan penyederhanaan serta penyempurnaan daripada Ejaan Suwandi atau Ejaan Republik yang dipakai sejak dipakai sejak bulan Maret 1947.
Selanjutnya pada tanggal 12 Oktober 1972, Panitia Pengembangan Bahasa
Indonesia Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan buku "Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan"
dengan penjelasan kaidah penggunaan yang lebih luas. Setelah itu, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
tanggal 27 Agustus 1975 Nomor 0196/U/1975 memberlakukan "Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan"
dan "Pedoman Umum Pembentukan Istilah".
I.
Pemakaian Huruf
A. Huruf abjad. Ada 26 yang masing-masing
memiliki jenis huruf besar dan kecil.
B. Huruf vokal. Ada 5: a, e, i, o, dan u.
Tanda aksen é dapat digunakan pada huruf e jika ejaan kata menimbulkan
keraguan.
C. Huruf konsonan. Ada 21: b, c, d, f, g, h,
j, k, l, m, n, p, q, r, s, t, v, w, x, y, dan z.
2. Huruf x tidak punya contoh
di tengah kata.
3. Huruf q dan x digunakan
khusus untuk nama dan keperluan ilmu.
D.
Huruf diftong. Ada 3: ai, au, dan oi.
E.
Gabungan huruf konsonan. Ada 4: kh, ng, ny, dan sy.
F. Huruf kapital
1. Huruf pertama kata pada
awal kalimat
2. Huruf pertama petikan
langsung
3. Huruf pertama dalam kata
dan ungkapan yang berhubungan dengan agama, kitab suci, dan Tuhan, termasuk
kata ganti untuk Tuhan
4. Huruf pertama nama gelar
kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang diikuti nama orang
(tidak dipakai jika tidak diikuti nama orang)
(tidak dipakai jika tidak diikuti nama orang)
5. Huruf pertama unsur nama
jabatan yang diikuti nama orang, instansi, atau tempat yang digunakan sebagai
pengganti nama orang
(tidak dipakai jika tidak diikuti nama orang, instansi, atau tempat)
huruf pertama nama jabatan atau instansi yang merujuk kepada bentuk lengkapnya
(tidak dipakai jika tidak diikuti nama orang, instansi, atau tempat)
huruf pertama nama jabatan atau instansi yang merujuk kepada bentuk lengkapnya
6. Huruf pertama unsur-unsur
nama orang
(tidak dipakai pada de, van, der, von, da, bin, atau binti)
huruf pertama singkatan nama orang yang digunakan sebagai nama jenis atau satuan ukuran
(tidak dipakai untuk nama orang yang digunakan sebagai nama jenis atau satuan ukuran)
(tidak dipakai pada de, van, der, von, da, bin, atau binti)
huruf pertama singkatan nama orang yang digunakan sebagai nama jenis atau satuan ukuran
(tidak dipakai untuk nama orang yang digunakan sebagai nama jenis atau satuan ukuran)
7. Huruf pertama nama bangsa,
suku bangsa, dan bahasa
(tidak dipakai untuk nama bangsa, suku, dan bahasa yang digunakan sebagai bentuk dasar kata turunan)
(tidak dipakai untuk nama bangsa, suku, dan bahasa yang digunakan sebagai bentuk dasar kata turunan)
8. Huruf pertama nama tahun,
bulan, hari, hari raya, dan unsur-unsur nama peristiwa sejarah
(tidak dipakai untuk peristiwa sejarah yang tidak digunakan sebagai nama)
(tidak dipakai untuk peristiwa sejarah yang tidak digunakan sebagai nama)
9. Huruf pertama unsur-unsur
nama diri geografi dan unsur-unsur nama geografi yang diikuti nama diri
geografi
(tidak dipakai untuk unsur geografi yang tidak diikuti oleh nama diri geografi dan nama diri geografi yang digunakan sebagai penjelas nama jenis)
nama diri atau nama diri geografi jika kata yang mendahuluinya menggambarkan kekhasan budaya
(tidak dipakai untuk unsur geografi yang tidak diikuti oleh nama diri geografi dan nama diri geografi yang digunakan sebagai penjelas nama jenis)
nama diri atau nama diri geografi jika kata yang mendahuluinya menggambarkan kekhasan budaya
10. Huruf pertama semua unsur
nama resmi negara, lembaga resmi, lembaga ketatanegaraan, badan, dan nama
dokumen resmi, kecuali kata tugas, seperti dan, oleh, atau, dan untuk
(tidak dipakai untuk kata yang bukan nama resmi negara, lembaga resmi, lembaga ketatanegaraan, badan, dan nama dokumen resmi)
(tidak dipakai untuk kata yang bukan nama resmi negara, lembaga resmi, lembaga ketatanegaraan, badan, dan nama dokumen resmi)
11. Huruf pertama setiap unsur
bentuk ulang sempurna yang terdapat pada nama lembaga resmi, lembaga
ketatanegaraan, badan, dokumen resmi, dan judul karangan
12. Huruf pertama semua kata
(termasuk semua unsur kata ulang sempurna) di dalam judul buku, majalah, surat
kabar, dan makalah, kecuali kata tugas seperti di, ke, dari, dan, yang,
dan untuk yang tidak terletak pada posisi awal
13. Huruf pertama unsur
singkatan nama gelar, pangkat, dan sapaan yang digunakan dengan nama diri.
14. Huruf pertama kata penunjuk
hubungan kekerabatan yang digunakan dalam penyapaan atau pengacuan
(tidak dipakai jika tidak digunakan dalam pengacuan atau penyapaan)
(tidak dipakai jika tidak digunakan dalam pengacuan atau penyapaan)
15. Huruf pertama kata Anda yang
digunakan dalam penyapaan
16. Huruf pertama pada kata,
seperti keterangan, catatan, dan misalnya yang didahului oleh pernyataan
lengkap dan diikuti oleh paparan yang berkaitan dengan pernyataan lengkap itu.
G. Huruf miring
1. Menuliskan nama buku,
majalah, dan surat kabar yang dikutip dalam tulisan
2. Menegaskan atau
mengkhususkan huruf, bagian kata, kata, atau kelompok kata
3. Menuliskan kata atau
ungkapan yang bukan bahasa Indonesia (Dalam tulisan tangan atau ketikan, huruf
atau kata yang akan dicetak miring digarisbawahi)
H. Huruf tebal
1. Menuliskan judul buku, bab,
bagian bab, daftar isi, daftar tabel, daftar lambang, daftar pustaka, indeks,
dan lampiran
2. Tidak dipakai untuk
menegaskan atau mengkhususkan huruf, bagian kata, kata, atau kelompok kata;
untuk keperluan itu digunakan huruf miring.
3. Menuliskan lema dan sublema
serta untuk menuliskan lambang bilangan yang menyatakan polisemi dalam cetakan
kamus
II.
Penulisa Kata
A.
'Kata sekolah dasar. Ditulis sebagai satu kesatuan
B.
Kata turunan
1. Ditulis serangkai dengan
kata dasarnya: dikelola, permainan
2. Imbuhan ditulis serangkai
dengan kata yang langsung mengikuti atau mendahuluinya, tapi unsur gabungan
kata ditulis terpisah jika hanya mendapat awalan atau akhiran: bertanggung
jawab, garis bawahi
3. Imbuhan dan unsur gabungan
kata ditulis serangkai jika mendapat awalan dan akhiran sekaligus: pertanggungjawaban
4. Ditulis serangkai jika
salah satu unsur gabungan kata hanya dipakai dalam kombinasi: adipati, narapidana
5. Diberi tanda hubung jika
bentuk terikat diikuti oleh kata yang huruf awalnya adalah huruf kapital: non-Indonesia
6. Ditulis terpisah jika kata
maha sebagai unsur gabungan diikuti oleh kata esa dan kata yang bukan kata
dasar: maha esa, maha pengasih
C.
Bentuk ulang. Ditulis lengkap dengan tanda hubung: anak-anak, sayur-mayur
D.
Gabungan kata
1. Ditulis terpisah
antarunsurnya: duta besar, kambing hitam
2. Dapat ditulis dengan tanda
hubung untuk menegaskan pertalian di antara unsur yang bersangkutan untuk
mencegah kesalahan pengertian: alat pandang-dengar, anak-istri
saya
3. Ditulis serangkai untuk 47
pengecualian: acapkali, adakalanya, akhirulkalam, alhamdulillah, astagfirullah, bagaimana, barangkali, bilamana, bismillah, beasiswa, belasungkawa, bumiputra, daripada, darmabakti, darmasiswa, dukacita, halalbihalal, hulubalang, kacamata, kasatmata, kepada, keratabasa, kilometer, manakala, manasuka, mangkubumi, matahari, olahraga, padahal, paramasastra, peribahasa, puspawarna, radioaktif, sastramarga, saputangan, saripati, sebagaimana, sediakala, segitiga, sekalipun, silaturahmi, sukacita, sukarela, sukaria, syahbandar, titimangsa, wasalam
E.
Suku kata - Pemenggalan kata
1. Kata dasar
1. Di antara dua vokal
berurutan di tengah kata (diftong tidak pernah diceraikan): ma-in.
2. Sebelum huruf konsonan yang
diapit dua vokal di tengah kata: ba-pak.
3. Di antara dua konsonan yang
berurutan di tengah kata: man-di.
4. Di antara konsonan pertama
dan kedua pada tiga konsonan yang berurutan di tengah kata: ul-tra.
2. Kata berimbuhan: Sesudah
awalan atau sebelum akhiran: me-rasa-kan.
3. Gabungan kata: Di antara
unsur pembentuknya: bi-o-gra-fi
F.
Kata depan. di, ke, dan dari ditulis
terpisah dari kata yang mengikutinya, kecuali daripada, kepada, kesampingkan, keluar, kemari, terkemuka
G.
Partikel
1. Partikel -lah, -kah,
dan -tah ditulis serangkai dengan kata yang
mendahuluinya: betulkah, bacalah
2. Partikel pun ditulis
terpisah dari kata yang mendahuluinya: apa pun, satu kali
pun
3. Partikel pun ditulis
serangkai dengan kata yang mendahuluinya untuk adapun, andaipun, ataupun, bagaimanapun, biarpun, kalaupun, kendatipun, maupun, meskipun, sekalipun, sungguhpun, walaupun
H.
Singkatan dan akronim
1. Singkatan nama orang, nama
gelar, sapaan, jabatan atau pangkat diikuti dengan tanda titik: A.S.
Kramawijaya, M.B.A.
2. Singkatan nama resmi
shshshs pemerintah dan ketatanegaraan, badan atau organisasi, serta nama
dokumen resmi yang terdiri atas huruf awal kata ditulis dengan huruf kapital
dan tidak diikuti dengan tanda titik: DPR, SMA
3. Singkatan umum yang terdiri
atas tiga huruf atau lebih diikuti satu tanda titik: dst., hlm.
4. Singkatan umum yang terdiri
atas dua huruf diikuti tanda titik pada setiap huruf: a.n., s.d.
5. Lambang kimia, singkatan
satuan ukuran, takaran, timbangan, dan mata uang tidak diikuti tanda
titik: cm, Cu
6. Akronim nama diri yang
berupa gabungan huruf awal dari deret kata ditulis seluruhnya dengan huruf
kapital: ABRI, PASI
7. Akronim nama diri yang
berupa gabungan suku kata atau gabungan huruf dan suku kata dari deret kata
ditulis dengan huruf awal huruf kapital: Akabri, Iwapi
8. Akronim yang bukan
namahshsjxnajanxua diri yang berupa gabungan huruf, suku kata, ataupun gabungan
huruf dan suku kata dari deret kata seluruhnya ditulis dengan huruf
kecil: pemilu, tilang
I.
Angka dan lambang bilangan. Angka dipakai untuk menyatakan
lambang bilangan atau nomor yang lazimnya ditulis dengan angka Arab atau angka
Romawi.
1. Fungsi
1. menyatakan (i) ukuran
panjang, berat, luas, dan isi (ii) satuan waktu (iii) nilai uang, dan (iv)
kuantitas,
2. melambangkan nomor jalan,
rumah, apartemen, atau kamar pada alamat,
3. menomori bagian karangan
dan ayat kitab suci,
2. Penulisan
1. Lambang bilangan utuh dan
pecahan dengan huruf
2. Lambang bilangan tingkat
3. Lambang bilangan yang
mendapat akhiran -an
4. Ditulis dengan huruf jika
dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata, kecuali jika beberapa lambang
bilangan dipakai secara berurutan, seperti dalam perincian dan pemaparan
5. Ditulis dengan huruf jika
terletak di awal kalimat. Jika perlu, susunan kalimat diubah sehingga bilangan
yang tidak dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata tidak terdapat pada awal
kalimat
6. Dapat dieja sebagian supaya
lebih mudah dibaca bagi bilangan utuh yang besar
7. Tidak perlu ditulis dengan
angka dan huruf sekaligus dalam teks kecuali di dalam dokumen resmi seperti
akta dan kuitansi
8. Jika bilangan dilambangkan
dengan angka dan huruf, penulisannya harus tepat
J.
Kata ganti
1. Ku dan kau ditulis
serangkai dengan kata yang mengikutinya: kusapa, kauberi
2. Ku, mu, dan nya ditulis
serangkai dengan kata yang mendahuluinya: bukuku, miliknya
K.
Kata sandang. si dan sang ditulis
terpisah dari kata yang mengikutinya: sang Kancil, si
pengirim
III.
Pemakaian Tanda Baca
A.
Tanda titik
1. Dipakai pada akhir kalimat
yang bukan pertanyaan atau seruan
2. Dipakai di belakang angka
atau huruf dalam suatu bagan, ikhtisar, atau daftar (tidak dipakai jika
merupakan yang terakhir dalam suatu deretan)
3. Dipakai untuk memisahkan
angka jam, menit, dan detik yang menunjukkan waktu atau jangka waktu
4. Dipakai di antara nama
penulis, judul tulisan yang tidak berakhir dengan tanda tanya dan tanda seru,
dan tempat terbit dalam daftar pustaka
5. Dipakai untuk memisahkan
bilangan ribuan atau kelipatannya (tidak dipakai jika tidak menunjukkan jumlah)
6. Tidak dipakai pada akhir
judul yang merupakan kepala karangan atau kepala ilustrasi, tabel, dan
sebagainya
7. Tidak dipakai di belakang
(1) alamat pengirim dan tanggal surat atau (2) nama dan alamat penerima surat
B.
Tanda koma
1. Dipakai di antara
unsur-unsur dalam suatu perincian atau pembilangan
2. Dipakai untuk memisahkan
kalimat setara yang satu dari kalimat setara berikutnya yang didahului oleh
kata seperti tetapi atau melainkan
3. Dipakai untuk memisahkan
anak kalimat dari induk kalimat jika anak kalimat itu mendahului induk
kalimatnya (tidak dipakai jika anak kalimat itu mengiringi induk kalimatnya)
4. Dipakai di belakang kata
atau ungkapan penghubung antarkalimat yang terdapat pada awal kalimat. Termasuk
di dalamnya oleh karena itu, jadi, lagi pula, meskipun begitu, akan tetapi
5. Dipakai untuk memisahkan
kata seperti o, ya, wah, aduh, kasihan dari kata yang lain yang terdapat di
dalam kalimat
6. Dipakai untuk memisahkan
petikan langsung dari bagian lain dalam kalimat (tidak dipakai jika petikan
langsung itu berakhir dengan tanda tanya atau tanda seru)
7. Dipakai di antara (i) nama
dan alamat, (ii) bagian-bagian alamat, (iii) tempat dan tanggal, dan (iv) nama
tempat dan wilayah atau negeri yang ditulis berurutan
8. Dipakai untuk menceraikan
bagian nama yang dibalik susunannya dalam daftar pustaka
9. Dipakai di antara
bagian-bagian dalam catatan kaki
10. Dipakai di antara nama
orang dan gelar akademik yang mengikutinya untuk membedakannya dari singkatan
nama diri, keluarga, atau marga
11. Dipakai di muka angka
persepuluhan atau di antara rupiah dan sen yang dinyatakan dengan angka
12. Dipakai untuk mengapit
keterangan tambahan yang sifatnya tidak membatasi
13. Dapat dipakai di belakang
keterangan yang terdapat pada awal kalimat untuk menghindari salah baca
C.
Tanda titik koma
1. Dapat dipakai untuk
memisahkan bagian-bagian kalimat yang sejenis dan setara
2. Dapat dipakai sebagai
pengganti kata penghubung untuk memisahkan kalimat yang setara di dalam kalimat
majemuk
D.
Tanda titik dua
1. Dapat dipakai pada akhir
suatu pernyataan lengkap jika diikuti rangkaian atau pemerian (tidak dipakai
jika rangkaian atau perian itu merupakan pelengkap yang mengakhiri pernyataan)
2. Dipakai sesudah kata atau
ungkapan yang memerlukan pemerian
3. Dapat dipakai dalam teks
drama sesudah kata yang menunjukkan pelaku dalam percakapan
4. Dipakai (i) di antara jilid
atau nomor dan halaman, (ii) di antara bab dan ayat dalam kitab suci, (iii) di
antara judul dan anak judul suatu karangan, serta (iv) nama kota dan penerbit
buku acuan dalam karangan
E.
Tanda hubung
1. Dipakai untuk menyambung
suku-suku kata dasar yang terpisah oleh penggantian baris (Suku kata yang
berupa satu vokal tidak ditempatkan pada ujung baris atau pangkal baris)
2. Dipakai untuk menyambung
awalan dengan bagian kata di belakangnya atau akhiran dengan bagian kata di
depannya pada pergantian baris (Akhiran -i tidak dipenggal supaya jangan
terdapat satu huruf saja pada pangkal baris)
3. Dipakai untuk menyambung
unsur-unsur kata ulang
4. Dipakai untuk menyambung
huruf kata yang dieja satu-satu dan bagian-bagian tanggal
5. Dapat dipakai untuk
memperjelas (i) hubungan bagian-bagian kata atau ungkapan, dan (ii)
penghilangan bagian kelompok kata
6. Dipakai untuk merangkaikan
(i) se- dengan kata berikutnya yang dimulai dengan huruf kapital, (ii) ke-
dengan angka, (iii) angka dengan -an, (iv) singkatan berhuruf kapital dengan
imbuhan atau kata, dan (v) nama jabatan rangkap
7. Dipakai untuk merangkaikan
unsur bahasa Indonesia dengan unsur bahasa asing
F.
Tanda pisah
1. Dipakai untuk membatasi
penyisipan kata atau kalimat yang memberi penjelasan di luar bangun kalimat
2. Dipakai untuk menegaskan
adanya keterangan aposisi atau keterangan yang lain sehingga kalimat menjadi
lebih jelas
3. Dipakai di antara dua
bilangan atau tanggal dengan arti 'sampai ke' atau 'sampai dengan'
4. Dalam pengetikan, tanda
pisah dinyatakan dengan dua buah tanda hubung tanpa spasi sebelum dan
sesudahnya
G.
Tanda tanya
1. Dipakai pada akhir kalimat tanya
2. Dipakai di dalam tanda
kurung untuk menyatakan bagian kalimat yang disangsikan atau yang kurang dapat
dibuktikan kebenarannya
H.
Tanda seru
1. Dipakai sesudah ungkapan
atau pernyataan yang berupa seruan atau perintah yang menggambarkan
kesungguhan, ketidakpercayaan, ataupun rasa emosi yang kuat
I.
Tanda elipsis
1. Dipakai dalam kalimat yang
terputus-putus
2. Dipakai untuk menunjukkan
bahwa dalam suatu kalimat atau naskah ada bagian yang dihilangkan
3. Jika bagian yang
dihilangkan mengakhiri sebuah kalimat, perlu dipakai empat buah titik; tiga
buah untuk menandai penghilangan teks dan satu untuk menandai akhir kalimat
J.
Tanda petik
1. mengapit petikan langsung
yang berasal dari pembicaraan dan naskah atau bahan tertulis lain
2. mengapit judul syair,
karangan, atau bab buku yang dipakai dalam kalimat
3. mengapit istilah ilmiah
yang kurang dikenal atau kata yang mempunyai arti khusus
4. Tanda petik penutup
mengikuti tanda baca yang mengakhiri petikan langsung.
5. Tanda baca penutup kalimat
atau bagian kalimat ditempatkan di belakang tanda petik yang mengapit kata atau
ungkapan yang dipakai dengan arti khusus pada ujung kalimat atau bagian kalimat
6. Tanda petik pembuka dan
tanda petik penutup pada pasangan tanda petik itu ditulis sama tinggi di
sebelah atas baris
K.
Tanda petik tunggal
1. mengapit petikan yang
tersusun di dalam petikan lain
2. mengapit makna, terjemahan,
atau penjelasan kata atau ungkapan asing
L.
Tanda kurung
1. mengapit keterangan atau
penjelasan
2. mengapit keterangan atau
penjelasan yang bukan bagian integral pokok pembicaraan
3. mengapit huruf atau kata
yang kehadirannya di dalam teks dapat dihilangkan
4. mengapit angka atau huruf
yang memerinci satu urutan keterangan
M.
Tanda kurung siku
1. mengapit huruf, kata, atau
kelompok kata sebagai koreksi atau tambahan pada kalimat atau bagian kalimat
yang ditulis orang lain. Tanda itu menyatakan bahwa kesalahan atau kekurangan
itu memang terdapat di dalam naskah asli
2. mengapit keterangan dalam
kalimat penjelas yang sudah bertanda kurung
N.
Tanda garis miring
1. dipakai di dalam nomor
surat dan nomor pada alamat dan penandaan masa satu tahun yang terbagi dalam
dua tahun takwim
2. dipakai sebagai pengganti
kata atau, tiap
O.
Tanda penyingkat
1. menunjukkan penghilangan
bagian kata atau bagian angka tahun
No comments:
Post a Comment